Minggu, 20 November 2016

Kabar Dari Sana

Beberapa hari yang lalu ketika saya pulang kerja, istri saya menyapa dengan raut muka yang sedikit kosong  sejenak mengatakan bahwa ada kabar wafatnya Saudara kami yang bernama Mbah Ni. Mbah ni siapa,tanya saya sepontan waktu itu. Mbahni yang orangnya cantik itu lo yah, yang kita selalu berkunjung ke rumahnya pada waktu idul fitri, kata istri saya. oooo mbah ni itu, timpal saya. 

Menyadari yang meninggal adalah Saudara dari kakek saya, saya langsung termenung sebentar dan pikiran ini secara otomatis menarik ingatan ingatan kepada mbah ni yang wafat ini. Kata kata istri saya yang menyebutkan ciri fisiknya beliau memudahkan saya membayangkan betapa beliau ini ketika masih masih muda menjadi idola kaum adam di zamannya. Mbah ni yang dulunya cantik dan bahkan di usianya yang sudah nenek nenek masih terlihat paras kecantikan wajahnya ini. Orangnya ramah, sabar dan ketahanan fisiknya pun teruji ketika di usianya yang setengah abad beliau masih kuat berjalan kaki mendorong gerobak jamu miliknya. Pekerjaanya itu pun dilakukan dengan penuh semangat dan kegembiraan. Berita duka itu pun semakin mengingatkan diri saya tidak ada kekelan di dunia ini. Orang yang cantik pun akan mati, orang yang ramah pun, baik pun, sehat pun, gemuk dan kurus pun semuanya akan mati menghadap sang pencipta.

Selang 1 atau 2 hari, ketika saya berada di tempat kerja, handphone saya mendapat panggilan tak terjawab beberapa kali dari istri saya yang rupanya mengabarkan berita penting. Istri saya mengabarkan bahwa ayah mertua saya sakit jantungnya kambuh dan sedang di UGD antri kamar untuk opname. Kakak ipar saya yang mendampingi beliau di rumah sakit, kemudian saya telepon, kakak saya membenarkan kondisi ayah mertua yang harus di rawat inap di rumah sakit. Kakak juga menceritakan kejadiaan awal mulanya adalah kekagetan ayah pada saat terpeleset di kamar mandi. Ya gitu dik, kayak orang orang yang mati di kamar mandi kena jantung itu, ya kayak yang seperti inii penyebabnya.,Untung saja cepat tertangani dan di bawa kesini, itu kira kira percakapan kakak di telepon ketika itu.

Mendengarkan kabar dari istri itu mengingatkan saya pada almarhumah ayah saya ketika masih hidup. Beliau juga beberapa kali harus rawat inap di rumah sakit. Mendengarkan percakapan kaka ipar tentang banyak nya pasien jantung yang terkena serangan jantung di kamar mandi sekali lagi mengingatkan kita akan hidup ini.  Hidup yang tiada kekal di dalam dunia.

Sesampainya di kampung tempat ayah mertua tinggal, ibu kandung saya yang rumahnya juga tidak jauh dari rumah mertua tiba tiba juga mengabarkan tentang meninggalnya teman masa kecilnya beberapa hari yang lalu. Kabar duka yang terus bertubi tubi itu seakan akan menjadi rentetan informasi yang kudu diolah secara sadar bagi yang menyadarinya. Perjalalan yang cukup memakan waktu ke kampung halaman saya, juga mengharuskan saya berpapasan dengan rombongan layatan orang meninggal. Kabar duka dan aneka sesuguhan kematian itu seakan akan bak hujan yang terus datang tak henti henti. Hujan yang turun tiada henti sangat berpotensi menjadi banjir yang melelahkan.

Duni ini memang bukan tempat kekekalan. Dunia bukalan keadaan yang abadi. Kesenangan kesenangan yang hadir ini pasti akan habis ditelan waktu. Dunia pun menyuguhkan aneka variasi sendi kehidupan. Orang bilang tidak semua keinginan mampu selalu menjadi kenyataan. Berdamai dengan kenyataan menjadi salah satu cara mendidik  hati ini menjadi hati yang kuat, tidak mudah tumbang ditelan keadaan dan keanekaragaman nafsu semu yang muncul di setiap pemilik hayat.

Tidak ada komentar:
Write komentar